URBANCITY.CO.ID – Belakangan ini, Sekretaris Fraksi Partai Gerindra DPR, Bambang Haryadi, mengusulkan sebuah aturan yang cukup menarik: setiap warga negara hanya boleh memiliki satu akun media sosial dan satu nomor ponsel.
Menurut Bambang, kondisi media sosial saat ini sangat terbuka dan membuat kita sulit membedakan mana informasi yang benar dan mana yang salah.
“Social media itu benar-benar sangat terbuka dan susah. Isu apapun bisa dilakukan di sana. Kadang kita juga harus cermat dalam menanggapi isu social media,” ujar Bambang saat ditemui di Gedung DPR, Senayan, Jakarta.
Usulan ini muncul setelah beredarnya isu tentang keponakan Presiden Prabowo Subianto, Rahayu Saraswati, yang dikabarkan mundur dari DPR untuk menjadi menteri.
Baca Juga :Satu Orang Satu Akun Media Sosial: Solusi Redam Hoaks atau Pembatasan Kebebasan?
Bambang percaya bahwa aturan satu akun satu orang ini bisa membantu menyaring informasi sehingga masyarakat lebih mudah membedakan mana yang fakta dan mana yang hoaks.
Ia juga yakin langkah ini akan meningkatkan tanggung jawab pengguna media sosial dan mengurangi penyebaran informasi menyesatkan.
Namun, gagasan ini tidak diterima secara bulat oleh masyarakat. Ada yang merasa kebijakan ini bisa membatasi kebebasan berekspresi, sementara yang lain melihatnya sebagai cara untuk menertibkan dunia digital dan membuat pengguna lebih bertanggung jawab.
Lalu, apakah kebijakan satu orang satu akun ini benar-benar solusi tepat untuk meredam misinformasi?
Pendapat Pengamat
Firman Kurniawan, pemerhati budaya dan komunikasi digital, punya pandangan berbeda. Ia menilai kebijakan ini tidak tepat. “Tidak tepat,” katanya singkat.
Firman menjelaskan bahwa ide ini memang bertujuan menekan hoaks dan informasi menyesatkan yang sering dimanfaatkan buzzer politik.
“Kalau akun jelas identitasnya, informasi tidak bisa disalahgunakan untuk mengadu domba atau menimbulkan kekisruhan,” tambahnya. Menurut Firman, kejelasan identitas pemilik akun adalah kunci agar orang bertanggung jawab atas apa yang mereka bagikan.
Namun, ia juga mengingatkan bahwa media sosial bukan hanya soal politik. Media sosial juga dipakai untuk pemasaran, partisipasi publik, dan kebutuhan pribadi.
“Kalau satu bidang disalahgunakan, aturan satu akun bisa merugikan bidang lain yang sah menggunakan platform itu,” ujarnya.
Jadi, penting untuk memahami konteks penggunaan media sosial sebelum membuat aturan yang membatasi.
Peran Algoritma dan Platform
Firman juga menyoroti peran algoritma platform media sosial. Algoritma ini bisa memperkuat penyebaran konten negatif, seperti kasus penculikan anak atau konflik di Myanmar.
“Banyak orang yang awalnya tidak merespons menjadi terlibat, bahkan menindak orang yang tidak bersalah, semua karena algoritma menilai konten itu diminati,” jelasnya.
Menurut Firman, pemerintah seharusnya mengatur pengembang platform, bukan hanya pengguna. Ia mencontohkan larangan live streaming saat demo akhir Agustus yang menurutnya tidak perlu diarahkan ke individu karena bisa membatasi ekspresi.
Baca Juga : Komisi III DPR Minta TNI Hormati Supremasi Sipil dan HAM Soal Rencana Polisikan Ferry Irwandi
“Live streaming sah-sah saja selama tidak melanggar hukum, dan tidak ada aturan yang melarang seseorang memiliki lebih dari satu akun, sehingga tidak perlu dibatasi,” katanya.
Firman juga menekankan bahwa pengembang platform memberi kebebasan pengguna dengan tetap mengacu pada pedoman komunitas dan regulasi seperti Undang-Undang ITE. Masalah muncul ketika media sosial dipakai untuk kegiatan politik yang merusak kepercayaan, seperti bazar politik.
Ia memberi analogi, “Kalau mobil sering menimbulkan kecelakaan hingga orang meninggal, apakah otomatis mobil harus dilarang? Tentu tidak begitu.”
Identitas, Privasi, dan Kebebasan
Soal anonimitas, Firman berpendapat bahwa menghapus identitas palsu justru meningkatkan tanggung jawab. Jika identitas pengguna jelas, orang akan lebih berhati-hati dalam berkomentar atau menyebarkan informasi.
“Kalau identitas jelas, orang akan berpikir dua kali sebelum menyebarkan informasi jorok atau memprovokasi,” ujarnya.
Namun, ia juga mengingatkan bahwa kebijakan satu akun bisa mengurangi manfaat media sosial karena setiap orang punya kebutuhan berbeda. Mengenai kekhawatiran soal kebebasan berekspresi dan privasi, Firman menegaskan bahwa hak tersebut tetap ada batasnya, dan pembatasan sudah diatur dalam undang-undang.
“Misalnya, Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) melarang ekspresi yang mengajak berjudi atau menyebarkan pornografi, sehingga regulasi sudah mengatur batasan-batasan tertentu,” tutupnya.