URBANCITY. CO. ID – Banyak orang pernah mengalami sensasi tidak nyaman pada perut saat menghadapi situasi tertentu, seperti berbicara di depan umum, menjalani ujian, atau saat pertemuan pertama. Gejala yang muncul dapat berupa rasa mulas, ketegangan pada perut, detak jantung yang meningkat, hingga keluarnya keringat dingin. Kondisi ini umumnya terkait dengan rasa gugup atau cemas, namun dapat pula menjadi tanda adanya gangguan pada sistem pencernaan.
Ilmuwan bilang, sensasi geli ini sebenarnya hubungan dua arah antara sistem pencernaan dan sistem saraf. Kok bisa? Yuk, kita bahas.
Pertama, hubungan usus dengan otak. Psikolog klinis dari University of Pennsylvania, Melissa Hunt, jelasnya gini: sejak embrio, otak, sumsum tulang belakang, dan saluran pencernaan saling terhubung.
“Jutaan neuron mengirimkan informasi dari usus kembali ke otak, dan begitu pula neuron yang mengirimkan sinyal kembali ke usus,” kata Melissa, dilansir dari Live Science, Rabu (19/11/2025).
Ini disebut sumbu usus-otak, lewat hormon, neurotransmiter, jalur saraf langsung, bahkan bakteri di usus. Makanya, suasana hati bisa pengaruhi pencernaan, dan sebaliknya.
Baca Juga : Perkuat Daya Saing Perekonomian Daerah, BRI Dukung Bazaar UMKM “Jelajah Kuliner Indonesia” 2025
“Ketika kita merasakan ‘kupu-kupu’ di dalam perut, itu adalah pengingat jelas bahwa emosi kita sangat melekat,” kata Profesor anatomi dan ilmu saraf di University College Cork, Irlandia, John Cryan.
John bilang, perasaan kupu-kupu itu gambaran aksis usus-otak, percakapan dua arah antara sistem saraf pusat dan usus lewat saraf, hormonal, dan mikroba.
Nah, bagaimana sensasi ini tercipta? Sel saraf di saluran pencernaan bagian dari sistem saraf otonom, yang atur fungsi tubuh tanpa sadar, kayak napas, jantung, dan pencernaan. Sistem ini ada dua: parasimpatis (rileks) dan simpatis (fight or flight).
Saat cemas, respons fight or flight aktif. Tubuh lepas hormon stres kayak kortisol, yang tekan pencernaan di lambung dan usus halus, tapi stimulasi usus besar. Akibatnya, otot kontraksi kayak kupu-kupu, bisa juga mual, kembung, sembelit, atau diare.
“Dari sudut pandang evolusi, reaksi ini kemungkinan membantu nenek moyang kita untuk bertahan hidup. Menghentikan pencernaan dan mengalihkan energi untuk kesiapan fisik akan meningkatkan peluang untuk melarikan diri atau menghadapi bahaya. Sensasi di usus yang muncul bersamaan juga berfungsi sebagai sinyal internal, menandai momen-momen penting atau ketidakpastian,” jelas John.
Lalu, peran mikrobioma usus? Mikrobioma itu kumpulan mikroba di tubuh, punya peran besar di sumbu usus-otak.
“Walaupun mikrobioma usus tidak secara langsung menyebabkan sensasi bergetar, mikrobioma membantu menentukan seberapa kuat kita merasakan dan pulih dari sensasi tersebut,” kata John.
Bakteri di usus bisa keluar zat yang pengaruhi sinyal usus-otak, bikin sensasi lebih kuat. Mikrobioma sehat bantu lindungi dari stres berlebih, tapi kalau berubah, bisa kuatkan respons stres.
Terakhir, hubungan dua arah. Stres bisa picu kupu-kupu, tapi masalah pencernaan kronis juga bisa bikin stres. Menurut Harvard Health, stres bisa tingkatkan gejala disorders of gut-brain interaction (DGBIs), kayak irritable bowel syndrome (IBS) atau functional dyspepsia. Ini gangguan komunikasi usus-otak, perubahan mikrobioma, dan fungsi imun.
“DGBI dianggap menggambarkan gangguan komunikasi yang berkelanjutan antara usus dan otak, serta perubahan pada mikrobioma atau fungsi kekebalan dalam beberapa kasus. Dari waktu ke waktu, orang dapat menjadi sangat cemas dan waspada secara berlebihan terhadap gejala GI mereka,” jelas Melissa.
Makanya, terapi perilaku sering dipakai untuk putus siklus ini.
“Jauh dari sekadar yang terjadi di dalam kepala, pengalaman emosional kita terhubung erat dengan organ-organ dalam tubuh. Memahami hubungan ini mengingatkan kita bahwa kesehatan mental dan kesehatan pencernaan tidak dapat dipisahkan,” jelas John.



