URBANCITY.CO.ID – Pada Rabu, 23 Juli, konflik antara Thailand dan Kamboja kembali memanas, memicu seruan dari Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara (ASEAN) agar kedua negara segera menghentikan bentrokan. Anwar Ibrahim, Perdana Menteri Malaysia yang juga Ketua ASEAN 2025, menghubungi Perdana Menteri Kamboja, Hun Manet, dan Penjabat Perdana Menteri Thailand, Phumtham Wechayachai, untuk mendorong dialog damai dan mencegah eskalasi lebih lanjut.
“Sebagai Ketua ASEAN 2025, saya mengimbau kedua pemimpin untuk segera menerapkan gencatan senjata guna mencegah eskalasi konflik lebih lanjut dan membuka jalan bagi dialog damai dan penyelesaian diplomatik,” ujar Anwar pada Kamis, 24 Juli.
Konflik ini dimulai ketika lima tentara Thailand terluka akibat ledakan ranjau darat di perbatasan kedua negara. Ini adalah konfrontasi bersenjata kedua setelah seorang tentara Kamboja tewas dalam baku tembak dengan pasukan Thailand pada Mei 2025. Ketegangan semakin meningkat ketika Thailand mengusir duta besar Kamboja dan Kamboja membalas dengan mengusir duta besar Thailand.
Kamboja kemudian menembakkan roket dan artileri ke arah Thailand, yang mengakibatkan 11 warga sipil dan seorang tentara tewas. Thailand pun melancarkan serangan udara sebagai balasan, menargetkan pangkalan militer di sekitar Candi Ta Muen Thom di Preah Vihear, memaksa ribuan orang mengungsi dari rumah mereka.
Baca Juga : Perang Thailand-Kamboja Meletus, Jet Tempur dan Roket Dikerahkan
Sengketa perbatasan di Preah Vihear telah menjadi isu jangka panjang yang memicu ketegangan antara kedua negara. Thailand dan Kamboja berbagi perbatasan darat sepanjang lebih dari 800 kilometer. Wilayah Preah Vihear sendiri menjadi akar konflik yang telah berlangsung lebih dari satu abad, dimulai dari era kolonial di abad ke-19.
Sejarah Preah Vihear Preah Vihear, yang oleh orang Thailand disebut Phra Viharn, adalah kompleks candi kuno yang terletak tinggi di Pegunungan Dangrek, dekat perbatasan Thailand dan Kamboja. Candi ini berasal dari abad ke-11 dan ke-12, pada masa kejayaan Kerajaan Khmer, yang merupakan nenek moyang orang Kamboja modern. Setelah Kerajaan Khmer mengalami kemunduran pada tahun 1431, Kerajaan Siam mulai menguasai wilayah Kamboja, termasuk Preah Vihear.
Ketika Prancis datang ke Asia Tenggara, Raja Kamboja Norodom meminta perlindungan Prancis untuk menghindari dominasi Siam. Pada tahun 1904, Prancis dan Siam membuat perjanjian perbatasan yang menempatkan sebagian besar Preah Vihear di bawah kekuasaan Siam. Namun, peta yang dibuat Prancis pada tahun 1907 menunjukkan bahwa seluruh Preah Vihear milik Kamboja, yang ditolak oleh Siam.
Sengketa di Abad 20 Setelah Jepang menginvasi Asia Tenggara, Thailand merebut Preah Vihear pada tahun 1941. Kamboja kemudian mengajukan gugatan ke Mahkamah Internasional, yang pada tahun 1962 memutuskan bahwa Preah Vihear adalah milik Kamboja. Thailand menerima keputusan tersebut, tetapi terus mempermasalahkan wilayah di sekitarnya.
Konflik kembali muncul pada tahun 2008 ketika UNESCO memberikan status warisan dunia kepada Preah Vihear. Ketegangan meningkat, dan kedua negara mengerahkan tentara ke wilayah tersebut. Pada tahun 2011, terjadi bentrokan bersenjata yang mengakibatkan banyak korban. Mahkamah Internasional kemudian memerintahkan kedua negara menarik pasukan mereka.
Kecemerlangan Budaya yang Terabaikan Sejarawan John D. Ciorciari dari Universitas Michigan menyatakan bahwa tragedi Preah Vihear terjadi karena para pemimpin politik lebih memilih memperdebatkan sejarah candi tersebut daripada menjadikannya sebagai penghubung antara kedua negara. Banyak orang di sekitar Preah Vihear memiliki leluhur yang sama, dan seharusnya wilayah ini menjadi daya tarik wisata dan contoh tradisi budaya, bukan menjadi kuburan bagi tentara dari kedua belah pihak.