Pasal tersebut, yang menyatakan bahwa “Dalam memastikan tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), PUJK wajib memastikan penagihan dilakukan: … c. tidak kepada pihak selain konsumen“. APJAPI, lanjutnya, mencatat bahwa ketentuan ini berpotensi melegitimasi moral hazard bagi konsumen yang beritikad tidak baik, karena dapat dimanfaatkan untuk melegalkan praktik yang merugikan industri multifinance.
APJAPI menilai, keberimbangan perlindungan yang diberikan kepada konsumen yang beritikad baik dan tidak baik perlu dipertimbangkan lebih lanjut. Sebagai Asosiasi yang mewadahi perusahaan penagihan, APJAPI merasa perlu menanggapi ataupun mengkritisi POJK tersebut.
Baca Juga: Undian Palsu Mengatasnamakan BNI Incar Pengguna Medsos
“Menurut kami, sudah semestinya Konsumen/Debitur yang beritikad baiklah yang dilindungi bukan Konsumen/Debitur yang beritikad tidak baik yang tidak melakukan kewajibannya untuk membayar cicilan terhadap pinjamannya,” tuturnya.
Keberadaan aturan ini juga memberikan dampak signifikan pada pekerjaan perusahaan-perusahaan Jasa Penagihan yang berada di bawah naungan APJAPI. Semua karyawan dari perusahaan penagihan tersebut telah mengantongi sertifikasi penagihan yang diakui oleh Sertifikasi Profesi Pembiayaan Indonesia (SPPI).
“APJAPI berharap untuk dapat berkontribusi dalam diskusi dan evaluasi lebih lanjut terkait POJK No. 22 Tahun 2023 agar mencapai keseimbangan yang lebih baik dalam perlindungan konsumen dan mendukung pertumbuhan industri jasa keuangan yang sehat dan berkelanjutan di Indonesia,” pungkas Kevin.