Penguatan USD itu tercermin dari penguatan indeks dolar AS atau DXY. “Semua itu menyebabkan tekanan di sebagian besar negara berkembang (emerging markets) termasuk Indonesia,” kata Menkeu saat menyampaikan kondisi APBN 2024 per November beberapa hari lalu di Jakarta.
Per 9 Desember 2024 secara ytd Kementerian Keuangan mencatat, nilai tukar rupiah sudah terdepresiasi 2,80 persen, karena penguatan indeks dolar.
Pasar SBN juga masih mengalami tekanan, dengan yield domestik yang cenderung meningkat ke level 6,93 persen (per 9 Desember 2024), sejalan dengan tren peningkatan yield UST.
Baca juga: Rupiah Terus Menguat Seiring Derasnya Arus Masuk Modal Asing
Peningkatan ketidakpastian global menyusul kemenangan Trump itu, juga mendorong capital outflow (pelarian modal dari Indonesia), kendati secara tahun kalender masih mencatat net inflow.
Menkeu menjelaskan, fenomena Trump 2.0 meningkatkan risiko perekonomian global dan emerging markets. Kebijakan proteksionis AS di bawah Trump meningkatkan potensi perang dagang dan trade diversion, volatilitas harga komoditas, dan inflasi global, yang selanjutnya melemahkan pertumbuhan ekonomi global.
Bagi negara berkembang, perubahan kebijakan AS di bawah Trump menimbulkan hambatan perdagangan, depresiasi mata uang, dan memicu arus keluar modal asing.
Sementara perekonomian Tiongkok (nomor dua terbesar setelah AS dan paling mempengaruhi ekonomi Indonesia), juga menghadapi berbagai tantangan, yang menambah ketidakpastian global.
Antara lain krisis sektor properti, pelemahan konsumsi domestik, dan hidden debt, serta ancaman tarif dagang Trump 2.0. Bank sentral dan pemerintahan Tiongkok sudah melansir berbagai stimulus, namun belum memadai mengangkat perekonomiannya.