Untuk itu, Gubernur Jawa Barat terlebih dahulu harus melakukan kajian menyeluruh dari hulu ke hilir. Caranya, libatkan semua stakeholders terkait untuk menemukan solusi tepat penanganan masalah kenakalan anak-anak dan remaja. “Jadi tidak asal sebut dan populer, seperti dilakukan Dedy Mulyadi,” tegasnya lagi.
Baca juga : BNI Gandeng IKA ITS Dukung Kemajuan Pendidikan Tinggi di Indonesia
Menurut Edwin, pendidikan anak “nakal” di barak militer berpotensi bertentangan dengan hak-hak anak yang dijamin dalam Undang-Undang Perlindungan Anak (UU No. 35 Tahun 2014 sebagai perubahan atas UU No. 23 Tahun 2002), tergantung pada bagaimana pendekatan tersebut dijalankan.
Salah satu prinsip utama dalam UU Perlindungan Anak adalah hak atas perlindungan dari kekerasan dan perlakuan buruk.
Pasal 13 dan 54 menyatakan bahwa anak berhak untuk dilindungi dari kekerasan fisik, psikis, dan perlakuan tidak manusiawi. Masalahnya,
Jika pendidikan militer dilakukan dengan pendekatan keras, hukuman fisik, atau tekanan mental, maka bisa melanggar prinsip tersebut.
Baca juga : Wamendag Roro Ajak Wanita Prioritaskan Pendidikan dan Berdayakan Diri
Kemudian, pasal 9 menyatakan bahwa setiap anak berhak untuk hidup, tumbuh, dan berkembang secara optimal. Sementara lingkungan barak militer bukan tempat yang dirancang untuk perkembangan psikologis dan sosial anak. Jika tidak didampingi tenaga ahli, justru bisa menghambat perkembangan emosi dan sosial.
“Jika barak militer digunakan sebagai tempat pendidikan untuk mendisiplinkan anak-anak ‘nakal’ tanpa pendekatan yang ramah, tanpa pendampingan psikolog serta abai terhadap hak-hak anak, maka kebijakan itu bisa melanggar Undang-Undang Perlindungan Anak,” pungkas Edwin. (*)