URBANCITY.CO.ID – Di tengah ketidakpastian ekonomi global, Indonesia tetap menunjukkan ketahanan. Pemerintah dan ekonom menilai aktivitas ekonomi nasional masih cukup stabil meski dunia tengah dihantui ancaman resesi akibat perang tarif yang dipicu kebijakan Presiden AS, Donald Trump.
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto menegaskan bahwa probabilitas resesi Indonesia hanya di bawah 5%, jauh lebih rendah dibandingkan negara lain seperti Meksiko (38%), Kanada (35%), dan AS (25%). “Dengan pondasi ekonomi nasional yang solid, diversifikasi mitra dagang, serta hilirisasi yang terus diperkuat, Indonesia berpeluang besar menjaga stabilitas dan daya saingnya,” ujarnya.
Namun, beberapa indikator ekonomi memunculkan kekhawatiran. Data Februari 2025 menunjukkan deflasi sebesar 0,09%—fenomena langka sejak tahun 2000. Selain itu, impor barang konsumsi anjlok 21,05% secara tahunan (yoy), yang menurut Direktur Eksekutif Celios Bhima Yudhistira, menandakan daya beli masyarakat tengah lesu. “Terbukti permintaan impor turun, harga makanan dan minuman juga ikut turun,” katanya.
Baca juga : Di Tengah Tekanan Ekonomi Global, BTN Gerak Cepat Siapkan Rumah untuk Guru
Hal ini juga diamini oleh Direktur Eksekutif Indef, Esther Sri Astuti, yang menilai daya beli masyarakat tergerus akibat gelombang PHK di berbagai sektor. “Dampak PHK besar-besaran melemahkan daya beli masyarakat, sementara harga pangan justru naik. Stok pangan dan distribusi barang harus dijaga,” tegasnya.
Menteri Keuangan Sri Mulyani membantah bahwa deflasi dan penurunan daya beli disebabkan oleh krisis. Menurutnya, deflasi terjadi akibat kebijakan pemerintah menurunkan harga-harga yang diatur, seperti diskon tarif listrik, pajak tiket pesawat, dan tol. “Jadi kalau deflasi itu karena administered prices yang turun, bukan krisis,” ujarnya.