URBANCITY.CO.ID – Ego besar tidak hanya kerap terjadi dalam jual beli rumah seken tapi juga rumah baru. Pembeli berkeras dengan rumah yang diinginkannya, kendati kemampuan membayarnya tidak mencukupi.
“Banyak yang maksa ambil rumah tipe 70, padahal mampunya tipe 55,” kata seorang developer perumahan di pinggiran Bintaro Jaya, Tangerang Selatan, usai sebuah pertemuan pers beberapa waktu lalu.
Pendapat serupa diutarakan Dyah Hindraswarini, mantan bankir di sejumlah bank swasta dan BUMN, dalam sebuah wawancara.
“Gaji Rp7 juta dibilang Rp9 juta supaya bisa beli rumah yang lebih gede. Padahal, itu akan menyulitkan diri sendiri membayar cicilan kreditnya,” ujarnya.
Asal tahu saja, bank sudah memiliki standar rasio cicilan KPR maksimal yang aman bagi debitur. Yaitu, 1/3 dari penghasilan bersih yang dibawa pulang (take home pay).
Itu standar umum. Jadi, kalau take home pay Rp7 juta, anda hanya bisa mendapatkan rumah dengan cicilan kredit maksimal Rp2,3 juta per bulan.
Baca juga: 400 Rumah di EcoArdence Habis Terpesan Saat Launching
Standar itu diadopsi bank berdasarkan survei biaya hidup. Dari survei itu diketahui, rata-rata orang menggunakan 50–60 persen penghasilannya untuk memenuhi kebutuhan pangan, sandang, pendidikan dan kesehatan. Sisanya 30% untuk cicilan rumah dan 10% dana cadangan.
“Data statistik bank pun membuktikan, rasio angsuran sepertiga penghasilan itu paling kecil kredit macetnya,” kata Budi Hartono, mantan Direktur Utama Pusat Pengelolaan Dana Pembiayaan Perumahan (PPDPP-sekarang sudah dibubarkan).