Jika ketiga aspek ini ditinggalkan maka Indonesia akan mengalami krisis energi. “Ujung-ujungnya pembangunan tidak dapat dilaksanakan dan ekonomi masyarakat akan menurun. Karena itu, kita tetap menuju clean energy tanpa melupakan Trilema Energi,” jelasnya.
Menurut Wiluyo, membangun renewable energy secara bertahap guna menggantikan energi fosil adalah salah satu strategi jitu dalam mengakselerasi transisi energi. Kemudian, dalam mengakselerasi transisi energi dengan optimalisasi pemanfaatan EBT sebagai pengganti fosil, sebaiknya pemerintah mendahulukan air (hydro energy) dan panas bumi (geothermal energy) untuk pembangunan pembakit Listrik.
Alasanya, potensi sumber daya kedua jenis energi tersbut terbilang melimpah di sejumlah wilayah Indonesia. Sebut Sumatera, terdapat tiga potensi hydro energy untuk pembangkit listrik, masing-masing sebesar 6 gigawatt (GW), 14 GW, dan 6 GW. Kemudian, Sulawesi (25 GW) dan Papua (25 GW).
Pun energi panas bumi, Indonesia merupakan negara kedua terbesar di dunia setelah Amerika Serikat yang memiliki potensi geothermal energy, dengan kapasitas sebesar 25 hingga 30 GW. “Ini harus kita kembangkan dari sekarang karena proses pembangunan EBT butuh waktu lama,” ujarnya.
Hal senada diungkapkan Direktur Aneka Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi Kementerian ESDM Andriah Feby Misna. Menurutnya, perubahan iklim dapat meningkatkan risiko bencana hidrometeorologi yang saat ini menyumbang 80% dari total bencana di Indonesia. “Dampak perubahan iklim lain diantaranya, kelangkaan air, kerusakan ekosistem daratan maupun laut, penurunan kualitas kesehatan, dan kelangkaan pangan,” jelasnya.