URBANCITY.CO.ID – Ekonom Bhima Yudhistira dari CELIOS mengajak kita melihat lebih dalam soal kebijakan Kementerian Keuangan yang mengalirkan dana Rp 200 triliun ke bank-bank himbara, alias bank nasional. Menurut Bhima, langkah ini belum tentu bisa langsung menggerakkan ekonomi seperti yang diharapkan.
Bhima bilang, “Kebijakan memindahkan dana pemerintah dari Bank Indonesia (BI) ke bank himbara belum tentu mendorong pertumbuhan ekonomi jika prasyaratnya tidak terpenuhi.”
Jadi, meski dana besar sudah disiapkan, ada syarat-syarat yang harus dipenuhi supaya uang itu benar-benar bisa berputar dan menumbuhkan ekonomi.
Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa sudah menetapkan aturan ini lewat Keputusan Menteri Keuangan Nomor 276 Tahun 2025. Tujuannya menambah likuiditas bank supaya kredit bisa tumbuh dan ekonomi ikut bergerak.
Namun, Bhima juga mengingatkan kita untuk waspada. Ia bertanya, proyek apa saja yang akan dibiayai dari dana pemerintah yang “parkir” di bank himbara ini.
Ia memberi contoh, “Kalau proyek Makan Bersama Gratis (MBG) dan Koperasi Desa Merah Putih, risikonya tinggi.” Apalagi, serapan dana untuk MBG saat ini masih di bawah 15 persen, bukan karena kurang anggaran, tapi masalah pelaksanaan di lapangan.
Selain itu, Bhima mengingatkan agar bank himbara tidak asal-asalan dalam memberikan kredit.
“Jangan sampai juga himbara tidak selektif menyalurkan kredit program dan meminimalisir moral hazard kredit fiktif,” katanya. Artinya, bank harus hati-hati supaya tidak memberikan pinjaman yang berisiko atau bahkan fiktif.
Bhima juga khawatir dana pemerintah malah lebih banyak dipakai untuk membiayai sektor fosil yang berisiko jadi aset terlantar, ketimbang mendukung energi terbarukan yang lebih ramah lingkungan.
Ia menegaskan, “Pak Purbaya harus lebih berhati-hati, tidak bisa sekedar diserahkan ke bank himbara dalam pembiayaan kas pemerintah, karena langkah ini berisiko terjadinya aset terlantar (stranded asset).”
Dari sisi makroekonomi, Bhima bilang tekanan inflasi memang ada, tapi kecil karena dana itu tidak langsung disalurkan sebagai kredit tahun ini. Namun, jika pemerintah mendesak bank himbara untuk cepat menyalurkan kredit, bank bisa jadi sembrono dan memberikan pinjaman ke sektor berisiko tinggi, yang bisa menaikkan Non-Performing Loan (NPL).
Menurut Bhima, kebijakan ini lebih fokus ke sisi moneter daripada stimulus pajak.
Ia menjelaskan, “Pak Purbaya lebih mendorong sisi moneter, sementara dari sisi stimulus pajak belum disentuh. Akibatnya apa? Pasokan uang bertambah karena himbara dapat uang kaget, sementara permintaan kredit belum tentu naik. Daya beli sedang turun, pengusaha mau pinjam uang ke bank buat apa?”
Meski begitu, Bhima juga melihat sisi positifnya. Jika dana ini dikelola dengan tepat, bisa jadi peluang besar.
“Likuiditas tambahan bagi bank himbara bukan sekadar mendorong pertumbuhan kredit, tetapi juga bisa diarahkan ke sektor yang membuka lapangan kerja,” ujarnya.
Sektor energi terbarukan, misalnya, diperkirakan bisa menciptakan 19,4 juta pekerjaan hijau dalam 10 tahun ke depan. Sayangnya, selama ini bank himbara baru menyalurkan kurang dari 1 persen kredit ke sektor ini. Dengan memindahkan dana kas pemerintah dari BI ke himbara, ini bisa jadi momentum transisi ke motor ekonomi yang lebih prospektif.
Bhima menekankan pentingnya regulasi dan perjanjian yang jelas, seperti Peraturan Menteri Keuangan, agar dana pemerintah dikelola sesuai dengan misi transisi energi 100 persen dalam 10 tahun ke depan.