Pada diskusi panel, para pembicara membahas berbagai aspek implementasi Permen ESDM No.2/2024 dan dampaknya terhadap pengembangan PLTS Atap di Indonesia. Diskusi diawali oleh Muhamad Alhaqurahman Isa, perwakilan Direktorat Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE), yang menjelaskan perubahan utama dalam regulasi tersebut. Beliau menyoroti sistem kuota PLTS yang lebih fleksibel, dengan menyatakan bahwa, “Pemerintah tidak lagi membatasi kapasitas PLTS yang hendak dipasang selama ketersediaan kuota sistem masih ada.”
Menambah perspektif operasional, Rahmi Handayani, VP Penjualan dan Pelayanan Pelanggan Retail PLN, memaparkan pengalaman implementasi sistem kuota perdana yang terjadi pada Juli lalu. Beliau menjelaskan tingginya animo masyarakat terhadap PLTS Atap, dengan data yang menunjukkan bahwa dari 900 Mega-watt kuota PLTS yang dibuka, hanya tersisa 85 Mega-watt pada akhir Juli, atau kurang dari 10% dari kuota yang tersedia. “Sisa 85 MW akan ter-carry over ke tahun 2025,” terang Rahmi
Tingginya tingkat pemenuhan kuota ini menegaskan respons positif terhadap sistem terbaru untuk PLTS Atap dari pelaku industri, sebagaimana yang dijelaskan oleh Mada Ayu Habsari, Ketua AESI. Beliau juga memaparkan bahwa inovasi dalam pembiayaan, seperti skema zero front-investment, menjadi salah satu pendorong utama yang memudahkan pelaku industri untuk beralih ke PLTS Atap. Pendekatan ini, menurut Mada, tidak hanya meningkatkan daya tarik PLTS Atap tetapi juga memperkuat kepercayaan sektor industri terhadap potensi energi surya sebagai solusi jangka panjang.