PMI manufaktur adalah indikator ekonomi yang menunjukkan kondisi industri pengolahan (produsen barang). Indeks PMI manufaktur didapat dari survei bulanan terhadap manajer pembelian di perusahaan manufaktur.
Menurut Paul Smith, Direktur Ekonomi di S&P Global Market Intelligence, di situs resminya, manufaktur Indonesia mengalami kontraksi karena melemahnya permintaan (pesanan baru), menurunnya produksi dan lapangan pekerjaan.
Dengan kata lain, manufaktur Indonesia lesu. Tercermin dari inflasi biaya perusahaan yang mengecil, bahkan di bawah tren historisnya. Dampak lebih jauh, kebutuhan terhadap pekerja menurun, pekerja eksisting dikurangi (PHK).
Karena pesanan menurun dan stok menumpuk, perusahaan mengurangi pembelian (purchasing) yang tercermin dari kontraksi PMI manufaktur tersebut.
Baca juga: Lapor Pak Prabowo! Bukan Hanya Manufaktur, Kinerja Dunia Usaha Secara Umum Menurun
Pelaku manufaktur masih posifif memandang prospek bisnis mereka ke depan, namun optimisme itu menurun signifikan, bahkan di tingkat terendah dalam empat bulan terakhir dan di bawah indeks historisnya. Mereka berharap ke depan kondisi ekonomi domestik membaik, dan geopolitik global lebih stabil.
Indeks PMI manufaktur versi S&P Global itu tidak mengejutkan. Sebelumnya Prompt Manufacturing Index-Bank Indonesia (PMI-BI) dan Survei Kegiatan Dunia Usaha (SKDU) BI yang dirilis akhir Oktober 2024, mengungkapkan kondisi serupa.
Bedanya, PMI dan SKDU BI, juga IKI Kemenperin, menyebut kondisi manufaktur Indonesia masih berada di zona positif atau ekspansi. Hanya saja, hampir semua indeksnya merosot dibanding bulan-bulan sebelumnya.