URBANCITY.CO.ID – Bunga kredit yang tinggi masih menjadi persoalan klasik perekonomian Indonesia. Penyebab bunga tinggi itu antara lain net interest margin (NIM) perbankan yang besar, rata-rata di atas 5 persen. Bank mengambil margin yang terlalu besar untuk setiap kredit yang disalurkannya, dengan alasan risiko berusaha di Indonesia yang besar pula. NIM adalah selisih rata-rata bunga simpanan nasabah di bank dengan bunga kredit.
Berkaitan dengan bunga kredit yang tetap tinggi itu, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) tidak menanggapinya secara spesifik. Dian Ediana Rae, Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan (KEPP) OJK hanya menyatakan, OJK mendorong persaingan suku bunga perbankan yang sehat melalui mekanisme pasar. Yaitu, dengan membuat kebijakan standarisasi komponen pada laporan keuangan sebagai pembentuk SBDK (Suku Bunga Dasar Kredit), dan meminta bank mentransparansikannya.
Dengan demikian masyarakat memiliki informasi yang objektif dan memadai dalam memilih penawaran bunga yang dinilainya paling kompetitif. “Hal itu sejalan dengan penyusunan RPOJK SBDK (Rencana Peraturan OJK mengenai SBDK) yang direncanakan terbit tahun ini,” kata Dian melalui jawaban tertulis usai Rapat Dewan Komisioner Bulanan (RDKB) OJK akhir Februari lalu.
Sementara tentang bank digital yang menghimpun dana pihak ketiga (DPK) atau simpanan masyarakat justru dengan menawarkan bunga tinggi, Dian menyatakan setiap bank punya strategi dan risk appetite sendiri dalam menjalankan bisnisnya. Yaitu, melalui inovasi produk dan layanan yang memudahkan nasabah bertransaksi.