Dengan paket pemberian insentif PPN DTP itu, pemerintah mengorbankan potensi penerimaan negara Rp265,6 triliun.
Menteri Keuangan Sri Mulyani menyebutkan contoh potensi penerimaan negaranya tahun depan, bila sejumlah barang dan jasa di atas tetap dikenakan PPN.
Yaitu, untuk bahan makanan pokok potensi penerimaan PPN-nya Rp77,1 triliun, pengembangan UMKM Rp61,2 triliun, sektor transportasi Rp34,4 triliun, jasa pendidikan dan kesehatan Rp30,8 triliun, serta jasa keuangan dan asuransi Rp27,9 triliun.
Sementara dari barang dan jasa yang dikategorikan mewah dan akan dikenakan PPN 12 persen mulai 1 Januari 2025, potensi penerimaan negaranya mencapai Rp75 triliun.
Meningkat dibanding potensi penerimaan negara saat tarif PPN dinaikkan dari 10 persen menjadi 11 persen tahun 2022 yang mencapai Rp60,76 triliun.
Baca juga: Kemenperin Minta Berlakukan Lagi PPN DTP untuk Dongkrak Penjualan Mobil
Kenaikan tarif PPN dari 11 menjadi 12 persen mulai 1 Jnauari 2025, memang hanya dikenakan untuk barang dan jasa yang dikategorikan mewah, dan dikonsumsi kalangan berpunya (desil 9-10 menurut pengelompokan pendapatan atau kelompok terkaya).
“Contohnya daging sapi wagyu atau kobe yang harganya di kisaran Rp2,5 juta sampai Rp3 juta per kilo,” kata Sri Mulyani.
Contoh lain, jasa pendidikan atau sekolah elit yang memungut bayaran ratusan juta kepada siswanya, jasa kesehatan untuk kalangan atas, dan pelanggan listrik dengan daya 3.500-6.600 volt ampere (VA).
Menkeu menjelaskan, PPN 12 persen dikenakan pada barang-barang mewah yang sebelumnya dibebaskan dari PPN, karena kelompok terkaya paling banyak menikmati fasilitas pembebasan PPN itu, mencapai Rp41,1 triliun.