URBANCITY.CO.ID – Menteri Perumahan dan Kawasan Permukiman (PKP) Maruarar Sirait (Ara), bersama Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tito Karnavian dan Menteri Pekerjaan Umum (PU) Dody Hanggodo, sudah meneken Surat Keputusan Bersama (SKB) tentang Dukungan Percepatan Pelaksanaan Program Tiga Juta Rumah di Jakarta pekan lalu.
SKB itu mengatur tentang pembebasan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB), penghapusan retribusi Persetujuan Bangunan Gedung (PBG) untuk rumah subsidi bagi Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR), serta percepatan perizinan PBG dari maksimal 28 hari menjadi 10 hari.
Tujuan SKB itu menurunkan harga rumah subsidi sehingga makin terjangkau oleh kebanyakan MBR. Tapi, betulkah penghapusan BPHTB dan restribusi PBG akan menurunkan harga rumah subsidi?
Betul, kalau pemerintah daerah mau melaksanakan SKB itu. BPHTB ditetapkan 5 persen dari selisih harga rumah dengan batasan harga rumah yang tidak terkena bea. Batasan harga rumah tidak terkena BPHTB berbeda-beda di setiap daerah.
Di Bodetabek misalnya, batasannya sekitar Rp60 juta. Sedangkan patokan harga rumah subsidi di Bodetabek saat ini ditetapkan Rp186 juta per unit. Dengan demikian BPHTB-nya 5% x (Rp186 juta – Rp60 juta) = Rp6,3 juta.
Bila BPHTB benar-benar dihapus, harga rumah subsidi tetap saja, tidak akan lebih rendah. Pasalnya, yang membayar BPHTB adalah konsumen, terpisah dari harga rumah.
Jadi, konsumen terlepas dari kewajiban membayar BPHTB bila bea itu dihapus, tapi harga rumah subsidinya tidak berubah.