Salah satu poin mendesak, menurutnya, adalah perubahan Undang-Undang Migas yang saat ini masih menjadi hambatan utama. “Kita sudah punya fondasi kuat di UUD Pasal 33. Tapi turunan peraturannya, terutama UU Migas, perlu direvisi. Ini penting agar Permen, Kepmen, hingga Perda punya pijakan hukum yang lebih baik,” jelasnya.
Namun, sambil menunggu revisi UU tersebut, Iksan menekankan pentingnya memaksimalkan potensi yang ada. Salah satunya melalui penerapan teknologi tinggi di sektor hulu migas, seperti pengolahan minyak tak konvensional (unconventional oil).
“Teknologi hydraulic fracturing dan multistage hydraulic fracturing sudah terbukti di Amerika mampu meningkatkan produksi jutaan barel per hari. Di Indonesia, baru MEDCO dan EOG (Enron Oil & Gas) di Rokan yang mulai menerapkan. Padahal Amerika sudah jalan sejak 2010, kita ketinggalan 14 tahun,” ungkapnya.
Kendala terbesar, menurut Iksan, justru ada di sisi regulasi dan keberanian mengambil risiko. “Teman-teman BUMN masih takut gagal, takut disalahkan kalau proyek tidak berhasil. Padahal dari 100 program, kalau 1 besar berhasil, itu sudah luar biasa. Kegagalan pun tetap memberi data dan pengalaman berharga,” tegasnya.
Baca Juga : PHE Dukung Ketahanan Energi, Produksi Minyak Capai 553,67 Ribu Barel per Hari
Ia juga menyebut bahwa ekosistem industri gas di Indonesia masih belum terbentuk secara ideal. Maka dari itu, selain reformasi regulasi, Iksan menilai percepatan izin dan peningkatan kualitas data migas juga penting untuk menarik minat investor.