URBANCITY.CO.ID – Material berbasis bio atau bio-based material seperti kayu dan bambu, memiliki emisi karbon terendah dibanding material lain berbasis geo atau geo-based material seperti batu, pasir, bata, semen, dan logam yang berkontribusi signifikan terhadap emisi gas rumah kaca (CO2). Geo-based material itu saat ini paling umum dipakai untuk bangunan rumah dan gedung.
Hal itu dikatakan Direktur Jenderal Perumahan Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Iwan Suprijanto, saat membuka seminar “Pemanfaatan Material Kayu dan Bambu Rekayasa untuk Bangunan Gedung dan Hunian” di Jakarta, akhir pekan lalu, seperti dikutip keterangan tertulis Bagian Hukum dan Humas Ditjen Perumahan Kementerian PUPR. Seminat disertai eksibisi produk hunian yang terbuat dari kayu dan bambu rekayasa.
Karena kelebihannya itu, lanjut Iwan, kayu dan bambu sangat berpotensi menjadi substitusi beton dan baja, baik untuk struktur maupun non struktur pada bangunan rumah dan gedung, menyusul makin menguatnya isu lingkungan saat ini. Jadi, peluang Indonesia memanfaatkan material kayu dan bambu rekayasa untuk bangunan gedung dan hunian sangat terbuka. “Tantangannya bagaimana membangun gedung high rise dari kayu dan bambu,” ujarnya.
Iwan menyebutkan, Kementerian PUPR selama ini juga telah melakukan riset terkait pemanfaatan kayu dan bambu untuk pembangunan infrastruktur. Ke depan tidak tertutup kemungkinan dengan makin berkembangnya teknologi dan standarisasi, kedua material tersebut juga bisa dimanfaatkan dalam pembangunan hunian dan gedung. Untuk bisa sampai ke situ, ia berpendapat ada tiga tahapan penting yang perlu diperhatikan.