Afriandi menekankan pentingnya sektor migas bagi energi nasional. Ia menjelaskan, Indonesia masih sangat bergantung pada sumber energi fosil, seperti migas dan batubara. Konsumsi minyak nasional mencapai 1,6 juta barel, tetapi produksi hanya mampu memenuhi 600 ribu barel, sehingga Indonesia terpaksa mengimpor migas selama 20 tahun terakhir. Kontribusi sektor migas terhadap penerimaan negara juga semakin menurun.
Afriandi menyampaikan bahwa peran sektor migas masih sangat penting bagi perekonomian nasional. Selama periode 2012 hingga 2024 , sektor hulu migas menghasilkan gross revenue mencapai Rp5.580 triliun, dengan penerimaan negara mencapai Rp2.278 triliun, meskipun dengan adanya kekosongan regulasi, pasca putusan MK tahun 2012 yang telah membatalkan beberapa pasal di Undang-undang Migas.
Ditegaskan bahwa revisi Undang-Undang No. 22/2001 tentang Minyak dan Gas (UU Migas) sangat diperlukan untuk mencapai swasembada energi. “Tanpa Revisi UU Migas, swasembada energi tak akan tercapai bahkan kemungkinan terjadi krisis produksi Migas,” tegasnya.
Ia juga menjelaskan bahwa Indonesia memiliki potensi geologi yang mendukung sektor hulu migas, karena dari 128 cekungan yang dimiliki oleh Indonesia, saat ini produksi migas baru dari 20 cekungan saja. Namun tanpa regulasi yang jelas, peluang tersebut tidak dapat dimanfaatkan secara optimal.
Selain itu, ada 140 izin kegiatan usaha hulu migas yang harus dipenuhi dari 17 Instansi Penerbit izin. Banyaknya jumlah izin dan rumitnya proses perizinan membuat daya Tarik investasi di Indonesia kalah dari negara lain seperti India, Kanada, Norwegia, dan Inggris.