URBANCITY.CO.ID – Selain memacu mesin ekonomi di setiap daerah, pemerintah juga perlu mengembangkan regulasi yang mendukung upaya masyarakat memiliki rumah sendiri, baik yang berpenghasilan tetap (formal) maupun tidak tetap (informal). Bukan hanya kelompok masyarakat berpenghasilan rendah (MBR), tapi juga yang di bawah MBR (poor).
Pendapat itu disampaikan praktisi perkotaan dan properti Soelaeman Soemawinata dalam diskusi interaktif “Tantangan Perkotaan dan Permukiman Menuju Indonesia Emas 2045” yang diadakan Forum Wartawan Perumahan Rakyat (Forwapera) di Jakarta, Kamis (21/3/2024).
Per akhir 2023 jumlah rumah tangga yang belum memiliki rumah sendiri (backlog) menurut Badan Pusat Statistik (BPS) mencapai 9,9 juta unit. Turun dari 12,7 juta unit per akhir 2020. Namun, setiap tahun ada pertambahan keluarga baru sekitar 600.000 – 700.000 unit yang kesemuanya pasti juga membutuhkan rumah.
Salah satu regulasi yang perlu dikembangkan agar kelompok MBR dan di bawah MBR bisa menjangkau harga rumah, adalah dengan membuka akses kredit pemilikan rumah (KPR) dengan bunga rendah yang lebih luas kepada mereka. “Selama ini MBR dan di bawah MBR itu kesulitan mengakses KPR, terlebih yang informal (non fix income),” kata Eman, sapaan akrabnya.
Berkaitan dengan itu, Ketua Kehormatan Persatuan Perusahaan Realestat Indonesia (REI) itu mengusulkan pembentukan dana abadi perkotaan (urban fund) untuk sektor perumahan. Selain memperbesar anggaran perumahan, urban fund juga memperluas jangkauan layanan kepada semua kelompok masyarakat, karena dapat dijadikan garansi (asuransi) pembiayaan perumahan.