Sebelumnya para ekonom berharap BI tetap mempertahankan BI rate 6%. Alasannya, kenaikan BI rate akan makin menekan konsumsi kelompok menengah yang sudah tertekan sejak tahun lalu, antara lain akibat relatif tingginya bunga bank. Naiknya BI rate dipastikan akan kian mengerek bunga bank, yang kemudian makin melemahkan konsumsi kelompok menengah. Lemahnya konsumsi kelompok menengah itu terlihat antara lain dari anjloknya penjualan mobil dan sepeda motor selama triwulan pertama 2024, dan belum bergairahnya penyaluran kredit pemilikan rumah (KPR).
Baca juga: Utang Luar Negeri Indonesia Naik Jadi USD407,3 Miliar
Di sisi lain BI tidak punya pilihan lain kecuali menaikkan BI rate untuk menjaga kurs rupiah yang mengendor terhadap dolar AS, akibat meningkatnya tensi geopolitik global menyusul tetap tingginya bunga The Fed dan perluasan konflik di Timur Tengah. Investor asing buru-buru menarik dana dari emerging market seperti Indonesia untuk dipindahkan ke dolar AS (safe haven), yang membuat nilai rupiah terhempas. Sepanjang tiga hari pada pekan ketiga April lalu saja, lebih dari Rp21 triliun modal asing hengkang dari Indonesia.
Menghadapi situasi itu, BI memang bisa melakukan intervensi di pasar untuk mencegah pemburukan rupiah lebih jauh. Tapi, dalam istilah Presiden Direktur BCA Jahja Setiaatmadja kepada pers tiga hari lalu, saat ini permintaan dolar juga sedang banyak. Antara lain karena musim libur Lebaran, pembagian deviden yang sebagian dinikmati investor asing yang mengalirkannya ke luar, impor barang modal karena dunia usaha mulai berkekspansi, dan lain-lain.






