URBANCITY.CO.ID – Kita bangsa yang kreatif. Sejarah masyarakat kita adalah sejarah mencipta. Turun temurun kita bangsa yang dihormati karyanya karena merupakan karya orisinal. Mulai dari karya arsitektur seperti candi dan rumah tradisional, sampai kriya kayu, rotan, besi, marmer, kulit, batik, furniture, perak, dan banyak lagi.
Hampir setiap daerah punya kultur perajin. Jadi, kemampuan teknis dan pemahaman material para pengrajin kita jago. Orang luar pun mengakui. Kekurangan kita terletak pada kreatifitas.
“Kalau sudah biasa bikin begitu, begitu aja terus. Sulit berubah. Diminta bikin desain baru, kebanyakan malas atau bilang repot. Begini aja udah laku, buat apa coba-coba? Entar kalau nggak laku gimana? Makanya kursi sekolah sampai sekarang begitu-begitu aja. Istilahnya untuk apa bikin desain baru? Toh Soeharto, SBY, semua menteri duduk di kursi kayak gitu (saat sekolah) juga jadi presiden, jadi menteri,” kata desainer produk Joshua Simanjuntak dari Studio Desain Zylia dalam sebuah wawancara beberapa waktu lalu.
Selama puluhan tahun kreatifitas pengrajin kita seperti dibiarkan mati. Di industri furniture misalnya, kita nyaman hanya menjadi pedagang yang menjual jasa membuat. Terlena dan lupa cara mencipta. Industri furniture kita memang cukup berjaya di masa Orde Baru. Tapi, saat itu kekuatannya terletak pada tenaga kerja (termasuk pengrajin) dan bahan murah.
“Jadi, yang kita jual murahnya, bukan desainnya. Kita hanya jadi tukang jahit, desainnya dari buyers. Pembeli senang karena kerja pengrajin kita bagus, harganya murah,” jelas pria yang lulus nomor satu dari Sekolah Desain Ravensbourne, Kent, Inggris, itu.