Ada sebagian perusahaan yang mencoba menampilkan produk berbeda. Namun bukan karya orisinil, tapi hanya melakukan modifikasi. Mereka mendatangi pameran-pameran internasional, melihat-lihat produk furniture yang dipamerkan, mengambil brosurnya, kemudian mengubah desainnya di sana-sini. Maka jadilah produk baru. Proses desain yang menciptakan added value sangat minim.
Kekurangan lain pengrajin kita, tidak mengikuti perkembangan pasar. Ada semacam disconnection antara apa yang mereka buat dengan fungsi kekinian furnitur.
Misalnya, mereka tidak memahami ruang apartemen dan kebiasaan hidup penghuninya. Karena itu mereka tidak mengerti apa fungsi hallway mirror (cermin lorong) di apartemen.
Kemasan produk pengrajin kita juga tidak berkembang. Mereka biasa membuat heavy furniture. Padahal, untuk dimasukkan ke apartemen jalannya cuma service lift. Itu berarti mebel harus dibuat kompak dan knock down.
“Kebayang nggak gimana bawa tempat tidur besar penuh ukiran dan ada burung garuda di kepalanya ke dalam apartemen?” ujar magister desain produk dari Royal College of Art (RCA), London (Inggris), itu.
Sekian tahun pasca reformasi 1998 seiring kebangkitan negara-negara tetangga, terutama Cina yang bisa memberi harga lebih murah sehingga industri mebel kita terpukul, baru secara perlahan muncul kesadaran.
Kalau mau menang bersaing kita harus punya produk yang bagus dan unik. Keunggulan kita di situ. Kita tidak boleh hanya jadi tukang jahit.
Salah satu contoh kesadaran itu adalah Blackwood, label furniture berkelas Made in Indonesia yang didirikan duo bersaudara tahun 2006 di Jakarta.