“Para pengrajin furniture Blackwood 100 persen orang Indonesia. Mereka para pengrajin dengan keterampilan tangan yang tinggi dan halus. Anda bisa melihat kerja mereka di workshop kami di Cikupa (Tangerang),” katanya.
Yohan sependapat dengan apa yang dikatakan Joshua. Kekurangan pengrajin kita terletak pada keengganan meningkatkan kreatifitas. Terbelenggu mentalitas “cekap”. Merasa cukup dengan hasil kerja mereka selama ini. Malas mengeksplorasi desain baru yang punya nilai tambah tinggi.
“Begini aja udah bisa diekspor, ngapain repot-repot bikin desain yang baru? Begitu mentalitasnya. Memang produk (furniture kita) udah bisa diekspor, tapi harganya murah. Padahal, kalau kita bisa bikin yang lebih bagus, hasil kreatifitas kita sendiri, kita bisa dapat nilai tambah yang lebih tinggi. Misalnya, dari tadinya cuma 100 dolar per item, sekarang bisa 500 dolar,” jelasnya.

Ia menyebutkan, perlu delapan tahun membina para pengrajinnya agar punya mentalitas kreatif yang kuat. Kebanyakan pengrajin yang direkrutnya tidak mampu mengembangkan mentalitas tersebut. Tapi, para pengrajin yang bertahan menjadi andalannya mengembangkan produk furniture berkelas Blackwood.
“Anda tahu LV (Louis Vuitton)? Kenapa produknya begitu diminati kalangan atas? Itu karena prestise produk-produknya yang demikian tinggi, hasil keterampilan tangan yang halus dari para pengrajinnya. Kita ingin seperti itu. Membangun merek sendiri setara label ternama dunia, dengan menawarkan produk berkelas hasil karya kita sendiri. Kita tidak mau jadi tukang jahit,” tegas Yohan.